Rabu, 7 Januari 2009 | 03:00 WIB
NINOK LEKSONO
“Seorang amatir (dari zaman)
Victorian mengabdikan diri untuk pengamatan yang pelan dan saksama dan berpikir
tentang jagat alam sepanjang hidup, lalu mencetuskan satu teori 150 tahun
silam, yang masih menggerakkan agenda ilmiah dewasa ini.”
Gary Stix,
”Scientific American”, 12/2008
Membaca jurnal sains Cosmos
(Desember 2008/Januari 2009), yang secara khusus mengupas masalah evolusi,
pembaca diajak menjelajahi seluk-beluk evolusi—bagaimana riwayat kelahiran
teori yang terus menggerakkan debat ilmiah hingga hari ini, bukti-bukti
evolusi, dan juga pandangan mutakhir yang menyebut evolusi tampaknya telah
berakhir.
Selain Cosmos, jurnal lain yang
mengupas evolusi secara mendalam, juga warisan ilmiah yang ditinggalkan Charles
Darwin, adalah Scientific American (Desember 2008), yang intronya dikutip di
bagian awal tulisan ini. Keduanya mengangkat Darwin
dan evolusi bertepatan dengan peringatan 200 tahun Darwin dan 150 tahun teori evolusi yang ia
kemukakan.
Orang kini menyebut teori
evolusi secara begitu saja, tetapi tak disangsikan lagi, inilah teori yang
mengalami ujian paling dahsyat sepanjang masa. Atas dasar itu pula, orang
melihat Darwin
sebagai salah satu sosok yang menjulang di dunia sains, yang idenya telah
mengubah dunia.
Kini teori evolusi sudah
bertahan 150 tahun, dan pada sisi lain teori itu telah bertambah luas seiring
dengan berkombinasinya ide yang dicetuskan Darwin dan genetika.
Meski dikelompokkan sebagai
burung yang sama, atas bantuan ahli burung dan seniman John Gould, berikutnya
diketahui bahwa kutilang yang dibawa Darwin
sebenarnya merupakan spesies yang berlainan.
Dari pekerjaan Gould, Darwin mengerti bahwa
ukuran paruh kutilang berubah generasi demi generasi sesuai dengan ukuran
biji-bijian atau serangga yang mereka makan di pulau-pulau—di Galapagos ada 19
pulau—yang berlainan.
Apa yang ia amati itu ia catat
dalam ”The Voyage of The Beagle” yang diterbitkan setelah Darwin kembali ke Inggris tahun 1839. Darwin 22 tahun kemudian
menerjemahkan pemahamannya atas adaptasi kutilang tersebut ke dalam satu teori
evolusi. Teori ini menegaskan adanya seleksi alam untuk memastikan bahwa ada
sifat-sifat lebih unggul yang bertahan dari generasi ke generasi.
Fitur inti Teori Darwin —seperti telah
disinggung di muka—telah bertahan dari kajian kritis dari kritikus ilmiah dan
religius.
Sisi lain Teori Darwin
Pada satu hari di bulan Juni 150
tahun silam, di rumahnya di dekat London, Darwin membuka amplop surat yang
dikirim dari satu pulau yang kini ada di Indonesia. Pengirim surat itu adalah Alfred Russel Wallace,
kenalan muda yang menambah penghasilan dengan menjadi kolektor biologi, yang
rajin mengirim kupu-kupu, burung, dan spesimen lain ke Inggris. Namun, kali
itu, Wallace mengirim serta manuskrip 20 halaman, sambil meminta Darwin memperlihatkannya
kepada anggota lain komunitas ilmiah Inggris.
Pemikiran evolusi Darwin acap disebut
sebagai ”Darwinisme”, yang juga melambangkan pandangan sekitar evolusi. Namun,
seperti dicatat Richard Conniff di Cosmos, awal mula pandangan ini bukan dari Darwin atau Wallace.
Pandangan tentang asal-usul manusia dari primata, misalnya, sudah muncul sejak
1699, ketika seorang dokter asal London, Edward Tyson, membedah simpanse dan
mendapati anatomi makhluk ini amat mirip dengan manusia.
Kakek Darwin sendiri, Erasmus
Darwin, di tahun 1770-an sudah menyatakan bahwa berbagai spesies yang
berbeda-beda berkembang dari satu leluhur yang sama. Ia bahkan memasang moto
Latin ”E conchis omnia” (Segalanya berasal dari kerang) di kereta kudanya.
Bisa pula dicatat bahwa pada
tahun 1801 naturalis Perancis, Jean-Baptiste Lamarck, mengajukan bahwa
spesies-spesies bisa berubah merespons kondisi lingkungan. (Ada
yang bisa bertahan dari penyakit, kelaparan, pemangsaan, dan faktor lain, tapi
ada juga yang tak bisa bertahan, oleh Darwin
disebut dengan ”seleksi alam”, sementara oleh Wallace disebut sebagai
”perjuangan untuk eksistensi”).
Tahun 1840-an, ide evolusi lolos
dari ranah komunitas ilmiah semata, dan merebak menjadi debat publik. Sementara
itu, Darwin
terus mengembangkan studinya tentang evolusi, antara lain dengan mempelajari
karya demograf TR Malthus mengenai faktor yang membatasi perkembangan manusia.
Tahun 1844, ia telah mengembangkan ide dalam manuskrip setebal 200 halaman.
Seperti kita tahu, naskah Darwin yang lengkap
akhirnya terbit 24 November 1859 dalam wujud buku berjudul On the Origin of
Species by Means of Natural Selection. Dengan itu, hal yang tak terpikirkan,
yakni manusia berasal dari satwa, menjadi lebih dari ”terpikirkan”.
Dalam hal ini Darwin tak saja menyuplai unsur ”bagaimana”
dari evolusi. Karyanya yang mendalam atas kijing dan spesies lain membuat ide
evolusi lebih bisa dicerna.
Pemikiran baru
Dari uraian tersebut, kesan yang
muncul memang teori evolusi Darwin
telah lulus dari ujian waktu. Namun, pada sisi lain, kini juga muncul pandangan
baru bahwa evolusi sendiri kini telah berakhir, setidaknya bagi manusia. Inilah
yang juga dilaporkan oleh Steve Jones di Cosmos. Umat manusia, tulis Jones,
kini mengalami apa yang ia sebut sebagai ”pemerataan besar” (grand-averaging).
Sekadar contoh, warga
Amerika-Afrikan kini sudah merasa, sejarah mereka telah tercuri. Kromosom
mereka sebagian Afrika, sebagian Eropa, dan sebagian lain Asia .
Gejala percampuran gen, lalu pemerataan, kini berlangsung lebih deras dibanding
tahun 1950. Tiga faktor yang dibutuhkan untuk terjadinya evolusi—variasi di
antara orang, tekanan seleksi via perbedaan dalam tingkat kematian, dan jumlah
keturunan dan isolasi geografik—banyak yang telah lenyap. Bagi manusia, daya
evolusi tampaknya kini telah punah.
Nice
BalasHapus