Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu
berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ
اللَّهُمَّ إِنِّي
أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ
عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ
خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي
وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ
تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ
أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي
وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ
وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengajari kami istikharah dalam setiap urusan yan kami hadapi sebagaimana
beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur’an. Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Jika seorang dari kalian menghadapi masalah maka ruku’lah
(shalat) dua raka’at yang bukan shalat wajib kemudian berdo’alah:
Allahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa
astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa
laa aqdiru wa ta’lamu wa laa ‘Abdullah’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub.
Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amru khairul liy fiy diiniy wa
ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” atau; ‘Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu liy wa
yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amru
syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” aw qaola; fiy ‘aajili
amriy wa aajilihi fashrifhu ‘anniy washrifniy ‘anhu waqdurliyl khaira haitsu
kaana tsummar dhiniy.”
(Ya Allah aku memohon pilihan kepada-Mu
dengan ilmuMu dan memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon
karunia-Mu yang Agung. Karena Engkau Maha Mampu sedang aku tidak mampu, Engkau
Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, Engkaulah yang Maha Mengetahui
perkara yang gaib. Ya Allah bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik
untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau
bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka takdirkanlah buatku dan
mudahkanlah kemudian berikanlah berkah padanya. Namun sebaliknya ya Allah, bila
Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan
kesudahan urusanku ini -atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa
nanti- maka jauhkanlah urusan dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan tetapkanlah
buatku urusan yang baik saja dimanapun adanya kemudian jadikanlah aku ridha
dengan ketetapan-Mu itu”. Beliau bersabda: “Dia sebutkan urusan yang sedang
diminta pilihannya itu”. (HR. Al-Bukhari
no. 1162)
Cara menyebutkan urusannya misalnya: Ya Allah, jika engkau mengetahui bahwa safar ini atau pernikahan ini atau usaha ini atau mobil ini baik bagiku …, dan seterusnya.
Cara menyebutkan urusannya misalnya: Ya Allah, jika engkau mengetahui bahwa safar ini atau pernikahan ini atau usaha ini atau mobil ini baik bagiku …, dan seterusnya.
Penjelasan ringkas:
Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang sangat lemah, mereka sangat membutuhkan bantuan dari Allah Ta’ala dalam semua urusan mereka. Hal itu karena dia tidak mengetahui hal yang ghaib sehingga dia tidak bisa mengetahui mana amalan yang akan mendatangkan kebaikan dan mana yang akan mendatangkan kejelekan bagi dirinya. Karenanya, terkadang seseorang hendak mengerjakan suatu perkara dalam keadaan dia tidak mengetahui akibat yang akan lahir dari perkara tersebut atau hasilnya mungkin akan meleset dari perkiraannya.
Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam mensyariatkan adanya istikharah, yaitu permintaan kepada Allah
agar Dia berkenan memberikan hidayah kepadanya menuju kepada kebaikan. Yang
mana doa istikharah ini dipanjatkan kepada Allah setelah dia mengerjakan shalat
sunnah dua rakaat.
Allah Ta’ala berfirman:
Allah Ta’ala berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ. وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ. وَهُوَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia
kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci
Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan
Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang
mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah
segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Qashash: 68-70)
Imam Muhammad bin Ahmad Al-Qurthuby rahimahullah berkata, “Sebagian ulama mengatakan: Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk mengerjakan suatu urusan dari urusan-urusan dunia kecuali setelah dia meminta pilihan kepada Allah dalam urusan tersebut. Yaitu dengan dia shalat dua rakaat shalat istikharah.” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/202)
Imam Muhammad bin Ahmad Al-Qurthuby rahimahullah berkata, “Sebagian ulama mengatakan: Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk mengerjakan suatu urusan dari urusan-urusan dunia kecuali setelah dia meminta pilihan kepada Allah dalam urusan tersebut. Yaitu dengan dia shalat dua rakaat shalat istikharah.” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/202)
Shalat istikharah termasuk dari
shalat-shalat sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Al-Hafizh Al-Iraqi
berkata -sebagaimana dalam Fath Al-Bari (11/221-222), “Saya tidak mengetahui
ada ulama yang berpendapat wajibnya shalat istikharah.”
Faidah:
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath (11/220), “Ibnu Abi Hamzah berkata: Amalan yang wajib dan yang sunnah tidak perlu melakukan istikharah dalam melakukannya, sebagaimana yang haram dan makruh tidak perlu melakukan istikharah dalam meninggalkannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath (11/220), “Ibnu Abi Hamzah berkata: Amalan yang wajib dan yang sunnah tidak perlu melakukan istikharah dalam melakukannya, sebagaimana yang haram dan makruh tidak perlu melakukan istikharah dalam meninggalkannya.
Maka urusan yang butuh istikharah
hanya terbatas pada perkara yang mubah dan dalam urusan yang sunnah
jika di depannya ada dua amalan sunnah yang hanya bisa dikerjakan salah
satunya, mana yang dia kerjakan lebih dahulu dan yang dia mencukupkan diri
dengannya.” Maka janganlah sekali-kali kamu meremehkan suatu urusan, akan tetapi
hendaknya kamu beristikharah kepada Allah dalam urusan yang kecil dan yang
besar, yang mulia atau yang rendah, dan pada semua amalan yang disyariatkan
istikharah padanya. Karena terkadang ada amalan yang dianggap remeh akan tetapi
lahir darinya perkara yang mulia.”
Berikut beberapa permasalahan yang sering
ditanyakan berkenaan dengan istikharah:
1. Apakah boleh istikharah dengan doa selain doa di atas
atau dengan bahasa Indonesia?
Jawab: Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu
berkata dalam hadits di atas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengajari kami istikharah dalam setiap urusan yang kami hadapi sebagaimana
beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur’an.”
Ucapan ini menunjukkan bahwa dalam istikharah seseorang hanya boleh membaca doa di atas sesuai dengan konteks aslinya, tidak boleh ada penambahan dan tidak boleh juga ada pengurangan. Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menyerupakan pengajaran istikharah seperti pengajaran surah Al-Qur`an. Maka sebagaimana suatu ayat dalam Al-Qur`an tidak boleh ditambah atau dikurangi atau dirubah maka demikian halnya dengan doa istikharah. Karenanya tidak boleh berdoa dengan membaca terjemahannya semata, tapi dia harus membacanya sebagaimana Nabi mengajarkannya.
Ucapan ini menunjukkan bahwa dalam istikharah seseorang hanya boleh membaca doa di atas sesuai dengan konteks aslinya, tidak boleh ada penambahan dan tidak boleh juga ada pengurangan. Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menyerupakan pengajaran istikharah seperti pengajaran surah Al-Qur`an. Maka sebagaimana suatu ayat dalam Al-Qur`an tidak boleh ditambah atau dikurangi atau dirubah maka demikian halnya dengan doa istikharah. Karenanya tidak boleh berdoa dengan membaca terjemahannya semata, tapi dia harus membacanya sebagaimana Nabi mengajarkannya.
Barangsiapa yang berdoa dengan
terjemahannya maka dia tidak teranggap melakukan istikharah, akan tetapi dia
hanya dianggap sedang berdoa kepada Allah. Hal ini telah diisyaratkan oleh
Muhammad bin Abdillah bin Al-Haaj Al-Maliki rahimahullah dalam Al-Madkhal
(4/37-38)
2. Apakah boleh langsung berdoa dengan doa di atas tanpa
melakukan shalat sebelumnya?
Jawab: Wallahu a’lam, yang nampak
bahwa 2 rakaat dengan doa ini merupakan satu kesatuan dalam istikharah. Karenanya
barangsiapa yang hanya berdoa tanpa mengerjakan shalat maka dia tidak dianggap
mengerjakan istikharah yang tersebut dalam hadits ini. Walaupun dia tetap
dianggap sebagai orang yang berdoa kepada Allah.
Akan tetapi jika dia ada uzur dalam mengerjakan shalat -misalnya wanita yang tengah haid atau nifas-, maka dia boleh langsung berdoa dan itu sudah dianggap sebagai istikharah karenanya adanya uzur untuk tidak mengerjakan shalat. Ini merupakan mazhab Al-Hanafiah, Al-Malikiah, dan Asy-Syafi’iyah.
Akan tetapi jika dia ada uzur dalam mengerjakan shalat -misalnya wanita yang tengah haid atau nifas-, maka dia boleh langsung berdoa dan itu sudah dianggap sebagai istikharah karenanya adanya uzur untuk tidak mengerjakan shalat. Ini merupakan mazhab Al-Hanafiah, Al-Malikiah, dan Asy-Syafi’iyah.
Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Adzkar
hal. 112, “Jika dia tidak bisa mengerjakan shalat karena ada uzur, maka
hendaknya dia cukup beristikharah dengan doa.”
3. Apakah dua rakaat ini merupakan shalat khusus, ataukah
berlaku untuk semua shalat sunnah dua rakaat?
Jawab: Lahiriah hadits menunjukkan ini
merupakan shalat dua rakaat khusus dengan niat untuk istikharah. Hanya saja
jika seseorang shalat sunnah rawatib dengan niat rawatib sekaligus niat
istikharah (menggabungkan niat), maka itu sudah cukup baginya dan dia sudah
boleh langsung berdoa setelahnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Jika dia
meniatkan shalat itu dengan niatnya dan dengan niat shalat istikharah secara
bersamaan (menggabungkan niatnya, pent.) maka shalatnya itu sudah syah dianggap
sebagai istikharah, berbeda halnya jika dia tidak meniatkannya (sebagai shalat
istikharah).” (Fath Al-Bari: 11/221)
Sekedar menguatkan isi hadits, bahwa dua rakaat yang dimaksud haruslah merupakan shalat sunnah. Karenanya shalat subuh tidak bisa diniatkan sebagai shalat istikharah karena dia merupakan shalat wajib.
Sekedar menguatkan isi hadits, bahwa dua rakaat yang dimaksud haruslah merupakan shalat sunnah. Karenanya shalat subuh tidak bisa diniatkan sebagai shalat istikharah karena dia merupakan shalat wajib.
4. Adakah surah khusus yang disunnahkan untuk dibaca
dalam shalat istikharah?
Jawab: Al-Hafizh Al-Iraqi rahimahullah
berkata, “Saya tidak menemukan sedikitpun dalam jalan-jalan hadits
istikharah adanya penentuan surah tertentu yang dibaca di dalamnya.” (Umdah
Al-Qari`: 7/235)
Inilah pendapat yang benar karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan adanya surah tertentu yang lebih utama dibaca dalam shalat istikharah. Sementara tidak boleh menentukan lebih utamanya suatu surah dibandingkan yang lainnya dari sisi bacaan kecuali dengan dalil yang shahih.
Inilah pendapat yang benar karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan adanya surah tertentu yang lebih utama dibaca dalam shalat istikharah. Sementara tidak boleh menentukan lebih utamanya suatu surah dibandingkan yang lainnya dari sisi bacaan kecuali dengan dalil yang shahih.
5. Bagi yang tidak menghafal doanya, apakah dia bisa
membacanya dari sebuah buku?
Jawab: Yang jelas, yang pertama kita
katakan: Hendaknya dia berusaha semaksimal mungkin untuk menghafalnya.
Jika dia tidak sanggup, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kemampuannya. Dalam keadaan seperti ini dia diperbolehkan membaca doa ini dengan melihat kepada kitab atau catatannya. Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab ketika diajukan pertanyaan yang senada dengan di atas, “Jika engkau menghafal doa istikharah atau engkau membacanya dari kitab, maka tidak ada masalah. Hanya saja kamu wajib bersungguh-sungguh dalam berkonsentrasi dan khusyu’ kepada Allah serta jujur dalam berdoa.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah: 8/161)
Jika dia tidak sanggup, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kemampuannya. Dalam keadaan seperti ini dia diperbolehkan membaca doa ini dengan melihat kepada kitab atau catatannya. Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab ketika diajukan pertanyaan yang senada dengan di atas, “Jika engkau menghafal doa istikharah atau engkau membacanya dari kitab, maka tidak ada masalah. Hanya saja kamu wajib bersungguh-sungguh dalam berkonsentrasi dan khusyu’ kepada Allah serta jujur dalam berdoa.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah: 8/161)
6. Bolehkah shalat istikharah pada waktu yang terlarang
shalat?
Jawab: Jika shalat istikharahnya masih
bisa ditunda hingga keluar dari waktu yang terlarang maka inilah yang lebih
utama dia kerjakan. Akan tetapi shalat istikharah ini jika tidak bisa
diundur atau dia butuhkan saat itu juga, maka dia boleh mengerjakannya saat itu
juga walaupun pada waktu yang terlarang. Karena jika shalat istikharah
itu dibutuhkan secepatnya, maka jadilah dia shalat sunnah yang disyariatkan
karena adanya sebab, sementara sudah dimaklumi bahwa waktu-waktu terlarang
shalat ini tidak berlaku pada shalat-shalat sunnah yang mempunyai sebab,
seperti tahiyatul masjid, shalat sunnah wudhu, dan semacamnya.
Bolehnya shalat sunnah yang mempunyai sebab dikerjakan pada waktu-waktu terlarang merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa: 23/210-215)
Bolehnya shalat sunnah yang mempunyai sebab dikerjakan pada waktu-waktu terlarang merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa: 23/210-215)
7. Apa yang dia lakukan setelah istikharah?
Jawab: Sebelumnya butuh diingatkan
bahwa sebelum melakukan istikharah hendaknya dia mengosongkan hatinya dari
kecondongan kepada salah satu urusan dari dua urusan yang dia akan mintai
pilihan (tidak berpihak kepada satu pilihan). Akan tetapi hendaknya dia melepaskan
diri dari semua pilihan tersebut dan betul-betul pasrah menyerahkan nasibnya
dan pilihannya kepada Allah Ta’ala.
Imam Al-Qurthuby berkata, “Para ulama menyatakan: Hendaknya dia mengosongkan hatinya dari semua pikiran (berkenaan dengan urusan yang akan dia hadapi) agar hatinya tidak condong kepada salah satu urusan (sebelum dia istikharah).” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/206)
Kemudian, setelah dia melakukan istikharah, maka hendaknya dia memilih untuk mengerjakan apa yang hendak dia lakukan dari urusan yang tadinya dia minta pilihan padanya. Jika urusan itu merupakan kebaikan maka insya Allah Allah akan memudahkannya dan jika itu merupakan kejelekan maka insya Allah Allah akan memalingkannya dari urusan tersebut.
Muhammad bin Ali Az-Zamlakani rahimahullah berkata,
Imam Al-Qurthuby berkata, “Para ulama menyatakan: Hendaknya dia mengosongkan hatinya dari semua pikiran (berkenaan dengan urusan yang akan dia hadapi) agar hatinya tidak condong kepada salah satu urusan (sebelum dia istikharah).” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/206)
Kemudian, setelah dia melakukan istikharah, maka hendaknya dia memilih untuk mengerjakan apa yang hendak dia lakukan dari urusan yang tadinya dia minta pilihan padanya. Jika urusan itu merupakan kebaikan maka insya Allah Allah akan memudahkannya dan jika itu merupakan kejelekan maka insya Allah Allah akan memalingkannya dari urusan tersebut.
Muhammad bin Ali Az-Zamlakani rahimahullah berkata,
“Jika seseorang sudah shalat istikharah
dua rakaat untuk suatu urusan, maka setelah itu hendaknya dia mengerjakan
urusan yang dia ingin kerjakan, baik hatinya lapang/tenang dalam mengerjakan
urusan itu ataukah tidak, karena pada urusan tersebut terdapat kebaikan
walaupun mungkin hatinya tidak tenang dalam mengerjakannya.” Dan beliau juga
berkata, “Karena dalam hadits (Jabir) tersebut tidak disebutkan adanya
kelapangan/ketenangan jiwa.” (Thabaqat Asy-Syafi’iah Al-Kubra: 9/206)
Maksudnya: Dalam hadits Jabir di atas tidak disebutkan bahwa hendaknya dia
mengerjakan apa yang hatinya tenang dalam mengerjakannya, wallahu a’lam.
Karenanya, termasuk khurafat adalah apa
yang diyakini oleh sebagian orang bahwa: Siapa
yang sudah melakukan istikharah maka dia tidak melakukan apa-apa hingga
mendapatkan mimpi yang baik atau mimpi yang akan mengarahkannya dan seterusnya. Ini
sungguh merupakan perbuatan orang yang jahil tatkala dia menyandarkan urusannya
pada sebuah mimpi, wallahul musta’an.
8. Jika hatinya masih ragu-ragu atau hatinya belum mantap
dalam mengerjakan urusan yang tadinya dia sudah beristikharah untuknya. Apakah
dia boleh mengulangi shalat istikharahnya?
Jawab: Boleh berdasarkan beberapa dalil di
antaranya:
1. Istikharah merupakan doa, dan di antara kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam berdoa adalah mengulanginya sebanyak tiga kali.
Hadits ini kami bawakan bukan untuk menunjukkan shalat istikharah diulang sebanyak tiga kali, akan tetapi hanya untuk menunjukkan bolehnya mengulangi doa.
2. Shalat istikharah adalah shalat yang disyariatkan karena adanya sebab. Karenanya, selama sebab itu masih ada dan belum hilang maka tetap disyariatkan mengerjakan shalat ini.
Inilah yang dipilih oleh sejumlah ulama di antanya: Imam Badruddin Al-Aini dalam Umdah Al-Qari` (7/235), Ali Al-Qari dalam Mirqah Al-Mafatih (3/406), dan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (3/89).
1. Istikharah merupakan doa, dan di antara kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam berdoa adalah mengulanginya sebanyak tiga kali.
Hadits ini kami bawakan bukan untuk menunjukkan shalat istikharah diulang sebanyak tiga kali, akan tetapi hanya untuk menunjukkan bolehnya mengulangi doa.
2. Shalat istikharah adalah shalat yang disyariatkan karena adanya sebab. Karenanya, selama sebab itu masih ada dan belum hilang maka tetap disyariatkan mengerjakan shalat ini.
Inilah yang dipilih oleh sejumlah ulama di antanya: Imam Badruddin Al-Aini dalam Umdah Al-Qari` (7/235), Ali Al-Qari dalam Mirqah Al-Mafatih (3/406), dan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (3/89).
9. Haruskah shalat istikharah dikerjakan di malam hari?
Jawab: Dalam hadits di atas tidak ada
keterangan waktu pengerjaannya. Karena shalat ini bisa dikerjakan kapan
saja baik siang maupun malam hari. Barangsiapa yang meyakini shalat ini hanya
bisa dikerjakan di malam hari maka keyakinannya ini keliru. Walaupun
tentunya jika dia mengerjakannya pada waktu-waktu dimana doa mustajabah
-seperti antara azan dan iqamah, sepertiga malam terakhir, dan seterusnya-,
maka itu lebih utama.
Demikian beberapa pertanyaan yang sempat
hadir dalam ingatan kami, jika ada pertanyaan lain silakan dituliskan pada
kolom komentar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar